Rilis Indeks Harga Konsumen AS untuk November menunjukkan pelemahan signifikan, tetapi efeknya terhadap pasar valas dan imbal hasil tetap terbatas. Banyak pelaku pasar menilai angka tersebut tidak cukup untuk mengubah pola kebijakan secara langsung. Dolar tetap terlihat cukup tangguh meskipun ada tekanan inflasi yang lebih lemah. Ketahanan ini menandakan bahwa respons pasar lebih dipengaruhi ekspektasi mengenai kebijakan The Fed di masa depan dibandingkan respons terhadap angka bulanan semata.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor dua tahun menutup sesi tanpa perubahan berarti, menandakan pasar masih menilai jalur kebijakan ke depan secara hati-hati. Analisis yang dirilis para ahli valas, termasuk Chris Turner dari ING, menunjukkan harga pasar masih memperkirakan satu pemotongan suku bunga 25 basis poin pada 2026, dengan potensi pemotongan tambahan pada April dan September. Meski demikian, jalur tersebut dapat berubah jika data berikutnya menimbulkan tekanan inflasi atau ketidakpastian lain di ekonomi utama.
Di sisi aliran modal, laporan TIC Treasury bulan Oktober menunjukkan volatilitas tinggi dengan pembelian bersih sekuritas jangka panjang AS sebesar 17,5 miliar dolar yang berada pada level terendah sejak aliran keluar 24 miliar dolar pada bulan April. Data ini cenderung berfluktuasi, sehingga belum ada sinyal kuat bahwa pasar aset AS akan bergerak menuju perubahan besar. Sementara itu tren penurunan kepemilikan obligasi pemerintah oleh negara BRICS berlanjut, dengan China (-$11,8 miliar), India (-$12 miliar) dan Brasil (-$5 miliar) mencatat aliran keluar yang signifikan.
Kepemilikan obligasi dan catatan Treasury oleh sektor resmi luar negeri turun sekitar 22 miliar dolar, meskipun ada kenaikan sekitar 14 miliar dolar pada kepemilikan T-bill yang mengimbangi sebagian penurunan. Intervensi valas untuk mendukung rupee di India menjadi bagian dari dinamika ini, dan pelaku pasar juga menimbang faktor geopolitik yang bisa memediasi perubahan posisi asing. Secara keseluruhan, aliran modal internasional menandakan reaksi terhadap kebijakan moneter serta risiko geopolitik yang lebih luas.
Para analis juga menilai bahwa penurunan kepemilikan resmi asing tidak otomatis berarti dolar melemah, melainkan lebih banyak dipicu oleh preferensi lindung nilai investor asing terhadap aset AS. Prediksi dolar yang lebih lemah pada 2026 biasanya didasarkan pada peningkatan rasio lindung nilai terhadap aset AS daripada aksi jual langsung. Dengan demikian, arah dolar akan sangat bergantung pada bagaimana investor menimbang risiko terhadap kurs dan imbal hasil di masa depan.
Di mana posisi yen turut memperkuat narasi bahwa DXY mungkin menguat secara keseluruhan meski imbal hasil Amerika tetap terjaga. Kelemahan yen hari ini membuat DXY tampak menguat, dan USD/JPY mungkin tetap bergerak naik setelah pernyataan Gubernur BoJ yang menegaskan perlunya melihat dampak kenaikan suku bunga sebelum kebijakan lebih lanjut diambil. Level teknikal terkait DXY juga menjadi fokus, dengan resistance jangka pendek berada di kisaran 98,75–98,80 sebagai penghalang utama.
BoJ menekankan bahwa perlu melihat dampak dari kenaikan suku bunga sebelum melangkah lebih jauh, menambah jeda kebijakan hingga periode mendatang. Perkiraan pasar menunjukkan perubahan kebijakan bisa tertunda enam hingga dua belas bulan, tergantung bagaimana data inflasi dan pertumbuhan Jepang berkembang. Ketidakpastian tersebut menjaga bias kebijakan BoJ tetap hati-hati dan menambah tekanan pada pergerakan pasangan mata uang terkait yen.
Dalam konteks ini, arah USD/JPY akan sangat dipicu oleh keputusan BoJ dan sikap pelaku pasar terhadap dolar AS. Secara teknikal, peluang penguatan dolar terhadap yen tetap ada jika tekanan inflasi AS berlanjut maupun jika BoJ menunda perubahan kebijakan lebih lama. Namun, horizon tiga hingga enam bulan ke depan menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi, sehingga trader perlu menavigasi dengan manajemen risiko yang ketat.
Secara keseluruhan, rilis ekonomi AS yang lemah tidak sepenuhnya melemahkan dolar. Ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed pada 2026 menjadi salah satu faktor kunci, tanpa mengesamping ketidakpastian geopolitik dan dinamika pasar obligasi global. Dengan demikian, fokus utama bagi trader adalah bagaimana kebijakan moneter Jepang, volatilitas pasar obligasi, dan pergerakan dolar terhadap yen akan membentuk arah utama untuk beberapa bulan ke depan.